Mitos
atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa
yang terjadi di dunia lain (kahyangan)
pada masa lampau dan dianggap benar-benar
terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos juga disebut
Mitologi, yang kadang diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para
dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah cerita tentang
asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara
gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan
mereka, kisah perang mereka dan sebagainya.
Contoh mitos :
Sekitar tujuh kilometer arah selatan desa Pleret
Kotagede, terletak desa Ngrasawuni. Di arah timur dan timur laut desa ini konon
dahulu menjadi tempat Sang Senapati dan Nyai Lara berkencan. Bekas bekas yang
masih diingat dalam cerita tutur orang ialah: gua dan bukit yang disebut Gunung
Payung. Di bukit ini terdapat dua makam. Yang satu makam kuda sembrani, kuda
bersayap kendaraan Senapati, yang bekas telapak nya tercetak pada "batu
gilang" di dekat situ. Yang lain "makam kama", yaitu makam
sperma Senapati yang tetes di tanah di bukit itu.
Kesatu ragaan Pandawa Pandu dengan
Pandawa Lelembut di Astina sejatinya merupakan kesatu ragaan politik. Begitu
juga perkawinan Lara Kidul dengan Senapati pada dasarnya perkawinan politik.
Senapati memperoleh kedaulatan atas wilayah Mataram, di samping Laut Selatan
yang tak berbatas itu. Ini sekaligus merupakan satu deklarasi politik
Sutawijaya di depan Adiwijaya, ayah angkatnya. Deklarasai, bahwa Mataram bukan
penerus Pajang, baik de facto maupun de iure. Dengan itu pula,
sekaligus untuk
"menggertak" lawan lawan nya, Senapati memamerkan kelebihan lelembut
istrinya itu di depan segenap makhluk halus yang tak terbilang banyak nya:
'Gung pra peri perayangan ejim sumiwi
Sang Sinom Prabu Rara yekti gedhe dhewe.
(kutipan dari "Babad
Nitik")
saya terjemahkan:
Segenap makhluk halus jin bersembah
pada Sang Ratu yang besar tak bertara
Saya sependapat dengan Ben Anderson
yang melihat benteng (saya tambah: juga "jagang" atau parit) di
sekeliling kraton Yogya dan Solo, terutama bukan sebagai barikade terhadap
tentara musuh, tapi lebih merupakan pernyataan tentang garis batas antara
"krama" dan "ngoko", antara "priyagung" dan
"wong cilik". Walaupun begitu terdapat beda, yang seperti bumi dan
langit, antara dasar konsepsi pada lakon carangan "Babad Alas
Wanamarta" dengan legenda "Babad Alas Mentaok". Jika pada yang
pertama bersifat materiel, pada yang kedua bersifat im- materiel. Yang pertama
kenyataan dihadapi sebagai dan dengan kenyataan, yang kedua kenyataan dihadapi
sebagai dan dengan impian. Maka dari itu dunia pedalangan ditutup dengan
"Bratayuda Jaya Binangun", dan berakhir dengan kemenangan pihak
Pandawa terlepas berapa besar pun kurban yang harus jatuh. Sedangkan babad
Mataram, yang mungkin bisa dipandang sebagai "perwakilan Jawa" pada
jaman nya, sejak itu tidak pernah mengenal lagi perang untuk sesuatu nilai.
Tidak pernah lagi berinisiatif ofensif. Impian nya pun impian lesu tentang Ratu
Adil, yang tak berdarah dan tak berdaging, dan dibangun di atas seribu satu
ramalan Jayabaya dan semacamnya, atau tafsir tafsir yang dipaksakan atas
"Jaka Lodang" dan "Kalatida" dari Ranggawarsita. Tidak bisa
lain, karena keagungan kerajaan Jawa memang sudah habis bersama dengan tahun
candrasangkala jatuhnya Majapahit: "sirna hilang kartaning bumi"
(hilang lenyap keagungan negri).
Mengusut
latar belakang mitos
Entah lidah atau tangan siapa yang
pertama tama mendoktrin kan mitos Lara Kidul itu. Tapi pastilah dari lidah atau
tangan yang memang memenuhi syarat syarat kepujanggaan. "Wedatama",
yang mem-p4-kan 6) keagungan Senapati berikut mitos Lara Kidul, berasal dari
paro sampai perempat terakhir abad ke-19. Kira kira satu abad sebelumnya, tepat
nya 11 November 1743, VOC memang telah menodong tanda tangan Paku Buwana II di
pembaringan sakit nya. Dan dari surat todongan itu (agaknya semacam Supersemar
Suharto), didapat lah hasil hasil oleh VOC:
(1) sepanjang pantai utara Jawa, dan
wilayah sejauh 6 Km ke pedalaman dikuasai VOC;
(2) semua Bupati pesisir utara Jawa,
sebelum mulai berfungsi, harus bersumpah setia kepada VOC.
Itulah angka tahun ketika kerajaan
Jawa secara definitif kehilangan kekuasaan nya atas laut utara. Dan tahun itu
(1743), kira kira hanya selang dua dasawarsa saja dari "Babad
Karangbolong". Oleh karenanya sejak itu, orang mengadakan selamatan dan
upacara, setiap kali sebelum turun ke gua, untuk mengutip sarang burung.
Selamatan dan upacara yang dipersembah kan bagi Dewi Lampet. Upacara ini
disertai dengan pergelaran wayang kulit yang mengambil lakon "Dewi
Lampet", sebuah nama dan versi lain dari tokoh Dewi Laut Selatan yang satu
itu juga: Nyai Lara Kidul (baca: "Histoire de Dewi Lampet: Le Mythe de la
Deesse de la Mer du Sud a Karang Bolong" , Claude Guillot; Archipel
24/1982; hal. 101-06).
Tapi semuanya itu tentu tidak
berarti bahwa mitos Lara Kidul ini mulai (di)timbul(kan) pada sekitar tahun
tahun tersebut. Jauh jauh hari pada senja riwayat Kerajaan Demak, wawasan
tentang keadaan dan pengarahan politik telah dibisik kan Sunan Kalijaga kepada
Mas Karebet alias Jaka Tingkir, kelak Sultan Adiwijaya di Pajang. Tanpa
menyebut masalah armada dagang berikut ancaman meriam meriam Spanyol, Portugis,
Belanda dan Gujarat di laut utara [tapi wali yang arif ini pasti mencatat di
ingatan nya dua kali pengalaman kekalahan Pati Unus di Malaka], diperintah nya
Karebet: pertama, agar tidak mempertahankan Demak, tapi membangun pusat bakal
kerajaan nya di pedalaman; dan kedua, agar kerajaan nya kelak tidak bersandar
pada para "dagang layar" di laut, tapi pada kaum "among
tani". (baca: Atmodarminto, Babad Demak Jarwa, Penerbit "Pesat"
1954).
"Carilah bakal pusat kerajaan
mu itu di dekat Prambanan, di pinggir Kali Kuning sana!" Begitu kira kira
nasihat Kalijaga pada Mas Karebet. Tinggal kan Laut Utara, mundur dan masuk ke
pedalaman. "Arus sudah berbalik!" Kata Pramudya Ananta Toer.
Revaluasi atas wawasan situasi
objektif, yang meninggalkan konsep wawasan nusantara bahari, diuji penjabaran
nya terutama oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (1612-45). Tapi ternyata mengalami
kegagalan. Dua kali ekspedisi ke Betawi dikirim (1628 dan 1629), dua kali pula
gagal. Bukan saja sama sama dedel duwel dengan VOC di Betawi (konon J.P. Coen
berhasil dipenggal kepalanya oleh lasykar Mataram?), tapi juga harus menghadapi
pemberontakan "golongan ketiga" yang sedang tumbuh di pedalaman
Mataram. Pemicu pemberontakan ini, agaknya, jika kita mencermati dongeng rakyat
"Pranacita - Rara Mendut", akibat semacam "krismon" yang
dicoba hendak diatasi dengan (karena belum ada IMF!) politik perpajakan. Begitu
juga oleh sabotase besar besaran dari para "bupati pesisir",
sepanjang barat Semarang sampai Rengasdengklok. Sayang "benang merah"
tutur Jawa ini kurang diangkat, baik oleh YB. Mangunwijaya maupun oleh Ami
Prijono, masing masing dalam novel dan film nya tentang Rara Mendut.
Lahir
dari konsep defensif
G.J.Resink benar, mensinyalir mitos
Lara Kidul ini, dengan menghubungkan nya dengan armada armada Spanyol, Portugis
dan Belanda yang dalam masa itu sudah malang melintang di Laut Jawa ("Mers
Javanaises"; Archipel 24/1982, hal. 97-100). Namun demikian ini tentu saja
tidak berarti, bahwa kepercayaan pada ruh penguasa laut belum ada di Jawa
sebelum masa itu. Sebutan "nyai" itu sendiri, bentuk feminin untuk
"kyai", sejenis honorefik prefiks bagi orang tua yang dimuliakan,
baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Termasuk dalam yang akhir ini,
terutama yaitu arwah "bahureksa" yang di lain tempat disebut
"pamali" (Buru), "danyang" (tentu dari "da" dan
"hyang"), dan lain lain.
Nyai Lara Kidul konon berparas
cantik. Beda dengan Durga (Umayi) atau si Janda dari desa Girah, Calon Arang.
Tapi wataknya? Jelas, tidak pernah melempar senyum barang secercah pada
"kawula cilik". "Lampor" nya bikin takut anak anak. Ia juga
luar biasa pencemburu pada perempuan tani di desa. Jika gadis gadis desa dan
gunung itu, satu kali setahun, pada kesempatan hari raya Lebaran ingin
bergembira ria di laut, bukan main banyak pantangan mereka. Tidak boleh berbaju
warna "gadung", "gadung melati", "jingga", dan
sebagainya; tidak boleh berkain "poleng alit", "teluh watu"
dan semacam nya. Juga pada penduduk desa umumnya. Ini terjadi sangat hebat,
misalnya, di sekitar tahun 1956. Dihamuk nya rakyat Gunung kidul yang miskin
tak berdaya itu. Gelombang Laut Selatan bergulung gulung menghempas pantai,
sambil melepas berjuta juta balatentara yang berupa tikus tikus. Dan
dimangsanya segala apa saja. Bukan saja tumbuhan dan hasil bumi, bahkan ternak
dan bayi anak anak manusia juga dimakan.
Lalu, sekali lagi terjadi pada tahun
1946. Ketika itu Nyai Lara Kidul memerlukan tambahan balatentara, guna
memerangi tentara Nica yang musuh Mataram, dan juga musuh Republik. Maka untuk
rekrutering balatentara lelembut itu, dibunuhinya rakyat dengan menyebar wabah
pes tanpa pardon! (Yuyud! Ini positif atau negatif, coba? Ironis ya Mas Wah?
Jika mitos telah berhasil ditanamkan.)
Penutup
Menghadapi mitos, legenda, saga dan
sebangsanya, bukan lah "who's who" nya yang penting. Tapi
"mengapa" nya, lalu "bagaimana" nya. Di situ lah soal nya.
Maka itu, menurut hemat saya, bukan soal beratus nama dan beribu versi penuturan
yang masalah. Namun, karena terperangkap keasyikan mencari tahu "apa
siapa" nya itu, orang terkadang lantas tergelincir berasyik masyuk di
dalam "dichtung" kejadian nya saja. Bung Karno, dalam ceramah di
Universitas Gajahmada (1954?) menyi- kapi legenda Nyai Lara Kidul ini dari
konsep impian wawasan nusantara bahari. Juga di dalam "Sarinah",
diceritakannya tentang mitos laut bangsa bangsa Timur Tengah, yang mengandung
kisah kisah perjuangan mereka dalam menunduk kan laut. Demikian juga Bima. Tak
kurang gagah dan perkasa nya pula tokoh idola Bung Karno itu. Ada satu kali ia
memang kompromi dengan Nagaraja di Saptapratala. Tapi itu terjadi bukan
lantaran Nagaraja berputri Nagagini yang jelita, melainkan karena keadaan
darurat. Bahwa ia harus menyelamatkan empat saudara saudaranya dan Kunti,
ibunya, dari pengejaran Kurawa, sesudah kegagalan usaha pembunuhan dalam
peristiwa judi di Balai Sigalagala itu. Selebih nya paling tidak tiga kali Bima
telah bertempur mati matian, dan berhasil mengalah kan tokoh tokoh bahureksa
sakti: Hidimba (Arimba), raksasa penunggu pohon randu alas; dua raksasa kembar
penunggu gunung; dan seekor naga laut dalam kisah "Dewaruci". Konon
kisah "Dewaruci" berasal dari jaman Mamenang (Isyanawikrama alias
Empu Sindok), sekitar enam abad lebih tua dari jaman Mataran Senapati.
Kisah kisah perjuangan dan
kemenangan anak manusia Jawa terhadap arwah bahureksa seperti itu, banyak
terdapat baik dalam dunia wayang maupun dalam dongeng rakyat. Adanya berbagai
versi penuturan mitos tentang laut, menandakan juga adanya berbagai tokoh
bahureksa laut di berbagai daerah kebudayaan. Tapi, beda dengan mitologi Hindu
yang memandang laut sebagai laki laki (Dewa Waruna), di Indonesia (seperti di
Mesir) bahureksa laut mendapat bentuk sosok perempuan. Seperti halnya bumi,
tanah dan air, laut merupakan unsur pengandung - pelahir - dan penyusui
kehidupan. Rakyat Buru selain mengenal Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar
Teluk Kayeli, juga mempunyai tokoh Boki Ronja(ng), "pamali' atau bahureksa
sungai Wai Apu.
Bentuk feminin itu barangkali juga
karena, di hadapan langit, laut terletak di bawah. Dari dunia pedalangan sering
kita dengar kata kata, diucap kan terhadap tokoh yang akan dikenai senjata
pamungkas; "tumengaa Bapa Angkasa, tumungkula Babu Pertiwi" (tengadah
lah pada Bapa Langit, dan tunduk lah pada Ibu Bumi". Gagasan pemikiran
demikian, bahwa "bapa" (laki laki) adalah langit, dan "ibu"
(perempuan) adalah bumi, sesuai dengan konsep susunan bangunan lingga dan yoni.
Kemanunggalan Mataram dan Laut Selatan adalah mutlak, karena Laut Utara tidak
lagi memberi lebensraum. Kesatu- tubuhan Senapati - Lara Kidul adalah mutlak,
karena itu ialah kesatuan nya antara langit dan bumi, antara lingga dan yoni. Mitos
Nyai Lara Kidul sebuah konsep yang mempunyai akar sejarah pada "Wahyu
Majapahit", mempunyai dasar ideologi pada dua aspek "gender"
dalam satu tubuh (bandingkan dengan sesaji "ardanareswari" di Bali),
dan merupakan antropomorfi dari wawasan bahari Kerajaan Mataram yang telah
hilang.
Sumber Pustaka :
Sumber Pustaka :
·
http://www.sentra-edukasi.com/2011/06/pengertian-dan-contoh-contoh-mitos-di.html#.UUbH5DdBlrA