Thursday, January 09, 2014

JAKARTA PUNYA PROBLEMA

1. Antara Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan

Jakarta kini bukan hanya membuat para pengurus pemerintahan saja yang pusing, namun jutaan dari penduduk yang memadati kota ini juga. Masalah yang sama selalu saja muncul, banjir, macet, kriminalitas, transportasi yang tidak layak, dll. Kota metropolitan ini memang sejak dulu menjadi magnet bagi para pencari nafkah dari seluruh Indonesia. Hampir semuanya beranggapan bahwa Jakarta dapat menjadi lahan penghidupan. Hal ini mengakibatkan jumlah orang yang tinggal di daerah semakin sedikit.

Di lain sisi, Jakarta yang hanya memiliki lahan yang terbatas ini menjadi semakin sempit. Bayangkan jika setiap tahun orang dari pedesaan berbondong-bondong datang dan tidak memiliki tempat tinggal, hanya sekedar mencari keberuntungan di kota ini, kondisi Jakarta hanya akan semakin tidak terurus. Bisa dikatakan Jakarta sudah menangis saat ini.

PROBLEMA MASYARAKAT DI INDONESIA

Problema masarakat saat ini bermacam-macam, contoh kasus :
Sering kali permasalahan yang timbul merupakan dampak dan hasil dari perebutan kepentingan masing-masing individunya. Yang berkaitan dengan harta, kedudukan/jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Katakanlah kesenjangan dalam sistem pengupahan tenaga kerja berdasarkan tingkat pendidikannya. Karena biaya pendidikan yang cukup mahal, membuat kalangan masyarakat bawah tidak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini dipicu dari masalah keuangan pada keluarga masing-masing individu.

Dalam hal konflik dari media massa, pemberitaan dari media yang terlalu bersemangat dan menyajikan peristiwa terlalu telanjang membuat orang bisa salah memahami persoalan. Inti persoalan terletak pada buruknya komunikasi. Pemprov seharusnya menyadari bahwa isu yang mereka tangani adalah isu yang sensitive. Termasuk terlebih dahulu memperbaiki lokasi makan sebelum akan melakukan penataan.

Biar bagaimanapun sebuah Negara harus berjalan dengan baik karena dengan itulah rakyat dapat meraih kehidupan yang lebih baik. Agar suatu Negara dapat berjalan baik dibutuhkan pemerintahan yang juga berfungsi baik. Berfungsi untuk mengarahkan sambil menghargai mereka yang berbuat baik dan sebaliknya menghukum mereka yang jelas berbuat salah. Sekarang ini keadaan cenderung menjadi cair karena kurangnya keberanian untuk bersikap tegas. Hanya demi menjaga perasaan, kita sering kali membiarkan ketidakbenaran terus berlangsung.

BUDAYA MENYIMPANG

Pada kenyataannya, yang menjadi masalah bagi banyak orang sepertinya bukan budaya itu punya kontribusi besar atau kecil atas peningkatan kinerja. Namun adanya pola-pola praktek atau kebiasaan atau budaya kerja yang menyimpang. Menyimpang dari nilai-nilai dasar, menyimpang dari asumsi-asumsi logis atau menyimpang dari keyakinan atau menyimpang dari prosedur / pelajaran tertentu yang kita peroleh dari pengalaman. Satu dari penyimpangan itu, misalnya, para pendiri sudah menggariskan nilai-nilai dasar yang super fantastis luhurnya, seperti: kejujuran, tanggung jawab, peduli pelanggan, dan lain-lain, tetapi prakteknya adalah ketidakjujuran, lari dari tanggung jawab atau ketidakpedulian.

Penyimpangan yang kerap terjadi itulah yang oleh para ahli dikatakan bahwa budaya itu bukan pernyataan nilai-nilai yang kita tulis di tembok organisasi, bukan kalimat yang kita cantumkan di bawah logo, bukan jargon yang kita ucapkan di dalam rapat, tetapi yang kita buktikan dalam praktek atau "How we do things around here". Masalah penyimpangan antara konsep yang kita nyatakan dengan praktek yang kita buktikan ini memang masalah klasik manusia.

Mengatasi Penyimpangan

1. Prioritas terhadap suatu masalah
Jenis penyimpangan seperti apa yang sudah benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai, asumsi, keyakinan atau pengalaman hidup kita. Karena penyimpangan itu pasti banyak kalau dicari apalagi dicari-cari, maka sebaiknya kita perlu membuat prioritas penyelesaian penyimpangan.

2. Konseptualisasi (Terkonsep)
Agar kemauan kita itu menjadi pemahaman bersama, kita perlu mengkonsepkannya, menyatakannya dalam bentuk pedoman yang bisa dipahami orang lain. Beberapa organisasi memang telah memiliki rumusan tertulis dari nilai-nilai yang diinginkan untuk terwujud dalam praktek. Tetapi ini masih banyak juga yang belum memiliki.

3. Membuka/membuat fasilitas dan peluang pembelajaran
Budaya menyimpang, perlu diluruskan melalui proses belajar yang benar agar hasilnya benar. Esensi mendasar dari prinsip pembelajaran ini adalah memperbaiki keadaan (mengubah ke arah yang lebih baik) dengan cara melakukan sesuatu (proses) berdasarkan masalah yang muncul dengan berbagai cara yang mungkin. Intinya, kita tidak melihat penyimpangan budaya yang terjadi sebagai sebuah kesimpulan akhir, melainkan sebagai sebuah proses untuk diperbaiki. Kita tidak melihat penyimpangan sebagai penyimpangan tetapi sebagai isyarat untuk melakukan perubahan dan pengembangan.


Ref : http://forum.kompas.com/megapolitan/33323-masalah-utama-jakarta-meledaknya-jumlah-penduduk.html

No comments:

Post a Comment